Sabtu, 07 Maret 2009

Siapa Yang Disebut Orang Jawa?

SIAPAKAH
yang disebut suku bangsa Jawa atau orang Jawa? Yaitu orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan yang bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut (Imam Sutardjo).
Kurang lebih 100 tahun yang lalu, suku bangsa Jawa atau orang Jawa, sudah ada yang merantau ke daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan ada pula yang merantau sampai ke luar negeri. Mereka merantau ke luar wilayah Jawa atau ke luar negeri, karena kemauannya sendiri, misalnya untuk menuntut ilmu di Eropa, di Arab Saudi, bekerja sebagai pelaut, atau karena dikirim oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Awal abad 19 banyak orang Jawa dikirim ke daerah lain (Sumatra) atau ke luar negeri (Suriname) oleh Pemerintah Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan. Atau dibuang ke daerah lain karena terlibat kegiatan politik (akhir abad 18 dan awal abad 19). Dalam era reformasi sekarang ini boleh dikata orang Jawa telah tersebar di semua penjuru dunia.
Wilayah budaya Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari Banyumas/Bagelen di bagian barat sampai di Malang batas bagian timur. Juga di daerah pantai utara pulau Jawa, dari Cirebon sampai Madura. Akhir abad 18, daerah Madiun, Nganjuk, Kediri, Tulungagung masih disebut mancanegara oleh orang-orang negari gung (Surakarta, Sala). Daerah Jember disebut tanah sabrang wetan, termasuk daerah Blambangan. Tanah sabrang kulon adalah pulau Sumatera.
Saat ini wilayah budaya Jawa sudah menyebar ke berbagai daerah Indonesia, akibat transmigrasi yang diprakarsai oleh Pemerintah RI atau transmigrasi oleh kemauan sendiri (swakarsa/swadaya) atau adanya mobilisasi akibat urusan dagang, bekerja, dsb.
Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah, sebelum masuk agama Hindu. Ketika agama Hindu masuk Indonesia lahir kebudayaan Hindu-Jawa, ketika agama Kristen masuk nusantara lahir kebudayaan Kristen-Jawa atau Katolik-Jawa, masuk agama Islam lahir kebudayaan Islam-Jawa, ketika dijajah Belanda/Eropa lahir kebudayaan Barat-Jawa. Saat ini kebudayaan Jawa campur aduk. Lebih-lebih setelah masuk era reformasi, kebudayaan Jawa semakin kabur. Orang Jawa sudah banyak yang matrialistik atau mata duiten dan eksentrik (keluar dari pusat budayanya). Karena meninggalkan agama dan budayanya mereka mudah terjerat tindak ma lima (5 jenis perbuatan maksiat). Atau menjadi serakah, akhirnya orang-orang Jawa yang lali jiwa Jawane semacam itu, masuk penjara. Namun sebagian masyarakat Jawa ada yang masih tetap teguh-kukuh mempertahankan kebudayaannya, seperti ketika kebudayaan itu lahir.
Unsur-unsur asli kebudayaan Jawa antara lain: masih yakin kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan, atau Allah SWT. Masih yakin bahwa orang Jawa adalah mikro kosmos, bagian dari makro kosmos (alam raya). Selalu mencari keseimbangan antara mikro kosmos dengan makro kosmos, hidup harmonis. Selalu rindu terciptanya kehidupan yang tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan, adil makmur sejahtera, berusaha untuk mencapai keutamaan hidup, hidup sakmadya, demi visi dan misinya: memayu hayuning raga, sesama, bangsa lan bawana.

KERABAT sedarah menurut kebudayaan Jawa sampai tujuh turunan. Yang melahirkan “saya” (ego) adalah ibu-bapak (I), sedang ibu-bapak dilahirkan oleh eyang (II). Yang melahirkan eyang disebut buyut (III). Kemudian buyut dilahirkan oleh canggah (IV), yang melahirkan canggah disebut wareng (V). Yang melahirkan wareng disebut udheg-udheg (VI) dan yang melahirkan udheg-udheg adalah gantung siwur (VII).
Keponakan adalah anak saudara “saya”. Atau anaknya kangmas (kakak) atau mbakyu, “saya” atau anaknya adik “saya”. Nak ndherek adalah anaknya budhe, pak dhe, paklik, atau bulik “saya”. Misanan adalah anak saudara eyang “saya” . Mindoan adalah anak saudara buyut “saya” .
Di luar itu hubungan kekerabatan agak jauh, ada yang menyebutnya sebagai kadang katut. Dari generasi ibu-bapak sampai ke generasi gantung siwur dihitung tujuh turunan atau tujuh generasi. Pada umumnya, saat ini, orang Jawa sudah sulit mengenal siapa nama buyutnya (generasi ketiganya), apalagi mengenal siapa nama gantung siwurnya! (generasi ke VII-nya).
Kerabat sedarah ke bawah (sampai 7 generasi) adalah “anak saya” (putra) – wayah (putu) – buyut – canggah – wareng – undheg-udheg – gantung siwur. Pembaca masih mengenal, siapakah gantung siwur Anda?

MENGAPA hanya sampai tujuh turunan? Budaya Jawa banyak mengenal simbol-simbol yang menggunakan angka 7 (tujuh). Terutama yang berkaitan dengan urusan religius-spiritual (Wawan Susetya).
Mitoni. Artinya selamatan bagi wanita yang hamil 7 bulan. Mitoni dari kata pitu atau tujuh.
Pitung Dinanan. Selamatan bagi kematian seseorang setelah masuk ke hari ketujuh. Pitung dari kata pitu. Dinanan dari kata dina (hari).
Tujuh hitungan hari: Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jumat, Setu, Minggu.
Tujuh susunan langit: berkaitan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, langit paling tinggi adalah Sidratul Muntaha, itulah langit yang ke-7. Di situ Rasullulah bertemu dengan Allah SWT.
Tujuh bidadari: ke 7 bidadari tersebut Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagar Mayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lengleng Mulat. Tujuh bidadari tersebut dihadiahkan kepada Arjuna karena telah berhasil mengalahkan Prabu Niwatakawaca.
Tujuh nafsu menurut Islam: ammarah, lawwamah, shufiyah, muthmainah, rodhiyah, mardhiyah, dan kamilah.
Tujuh gendhing talu: cucur bawuk, pare anom, ladrang srikaton, ketawang sukma ilang, ayak-ayak manyura, slepegan manyura, dan sampak manyura. Ke-7 gendhing tersebut selalu dibunyikan sebelum pagelaran wayang kulit dimulai.
Pertapaan Sapta Arga. Itulah pertapaan Begawan Wiyasa atau Resi Abiyasa, kakek, sesepuh, atau pepunden Pendawa. Sapta artinya tujuh, arga artinya gunung. Untuk menjadi manusia yang “insan kamil”, paripurna seperti Begawan Abiyasa, harus melalui 7 terminal pendakian. Mendaki ke atas ke hadirat Allah SWT (digambarkan naik gunung). Demikian perjuangannya menuju ke hadirat Tuhan, seorang sufi (pengamal tarekat) dituntut melewati maqam tujuh atau tujuh terminal. Dalam tasawuf dikenal juga 4 strata, yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat dan 3 keyakinan, yakni ilmu yakin, ainul yakin, dan haqqul yakin @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar