Sabtu, 07 Maret 2009

Siapa Yang Disebut Orang Jawa?

SIAPAKAH
yang disebut suku bangsa Jawa atau orang Jawa? Yaitu orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan yang bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut (Imam Sutardjo).
Kurang lebih 100 tahun yang lalu, suku bangsa Jawa atau orang Jawa, sudah ada yang merantau ke daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan ada pula yang merantau sampai ke luar negeri. Mereka merantau ke luar wilayah Jawa atau ke luar negeri, karena kemauannya sendiri, misalnya untuk menuntut ilmu di Eropa, di Arab Saudi, bekerja sebagai pelaut, atau karena dikirim oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Awal abad 19 banyak orang Jawa dikirim ke daerah lain (Sumatra) atau ke luar negeri (Suriname) oleh Pemerintah Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan. Atau dibuang ke daerah lain karena terlibat kegiatan politik (akhir abad 18 dan awal abad 19). Dalam era reformasi sekarang ini boleh dikata orang Jawa telah tersebar di semua penjuru dunia.
Wilayah budaya Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari Banyumas/Bagelen di bagian barat sampai di Malang batas bagian timur. Juga di daerah pantai utara pulau Jawa, dari Cirebon sampai Madura. Akhir abad 18, daerah Madiun, Nganjuk, Kediri, Tulungagung masih disebut mancanegara oleh orang-orang negari gung (Surakarta, Sala). Daerah Jember disebut tanah sabrang wetan, termasuk daerah Blambangan. Tanah sabrang kulon adalah pulau Sumatera.
Saat ini wilayah budaya Jawa sudah menyebar ke berbagai daerah Indonesia, akibat transmigrasi yang diprakarsai oleh Pemerintah RI atau transmigrasi oleh kemauan sendiri (swakarsa/swadaya) atau adanya mobilisasi akibat urusan dagang, bekerja, dsb.
Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah, sebelum masuk agama Hindu. Ketika agama Hindu masuk Indonesia lahir kebudayaan Hindu-Jawa, ketika agama Kristen masuk nusantara lahir kebudayaan Kristen-Jawa atau Katolik-Jawa, masuk agama Islam lahir kebudayaan Islam-Jawa, ketika dijajah Belanda/Eropa lahir kebudayaan Barat-Jawa. Saat ini kebudayaan Jawa campur aduk. Lebih-lebih setelah masuk era reformasi, kebudayaan Jawa semakin kabur. Orang Jawa sudah banyak yang matrialistik atau mata duiten dan eksentrik (keluar dari pusat budayanya). Karena meninggalkan agama dan budayanya mereka mudah terjerat tindak ma lima (5 jenis perbuatan maksiat). Atau menjadi serakah, akhirnya orang-orang Jawa yang lali jiwa Jawane semacam itu, masuk penjara. Namun sebagian masyarakat Jawa ada yang masih tetap teguh-kukuh mempertahankan kebudayaannya, seperti ketika kebudayaan itu lahir.
Unsur-unsur asli kebudayaan Jawa antara lain: masih yakin kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan, atau Allah SWT. Masih yakin bahwa orang Jawa adalah mikro kosmos, bagian dari makro kosmos (alam raya). Selalu mencari keseimbangan antara mikro kosmos dengan makro kosmos, hidup harmonis. Selalu rindu terciptanya kehidupan yang tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan, adil makmur sejahtera, berusaha untuk mencapai keutamaan hidup, hidup sakmadya, demi visi dan misinya: memayu hayuning raga, sesama, bangsa lan bawana.

KERABAT sedarah menurut kebudayaan Jawa sampai tujuh turunan. Yang melahirkan “saya” (ego) adalah ibu-bapak (I), sedang ibu-bapak dilahirkan oleh eyang (II). Yang melahirkan eyang disebut buyut (III). Kemudian buyut dilahirkan oleh canggah (IV), yang melahirkan canggah disebut wareng (V). Yang melahirkan wareng disebut udheg-udheg (VI) dan yang melahirkan udheg-udheg adalah gantung siwur (VII).
Keponakan adalah anak saudara “saya”. Atau anaknya kangmas (kakak) atau mbakyu, “saya” atau anaknya adik “saya”. Nak ndherek adalah anaknya budhe, pak dhe, paklik, atau bulik “saya”. Misanan adalah anak saudara eyang “saya” . Mindoan adalah anak saudara buyut “saya” .
Di luar itu hubungan kekerabatan agak jauh, ada yang menyebutnya sebagai kadang katut. Dari generasi ibu-bapak sampai ke generasi gantung siwur dihitung tujuh turunan atau tujuh generasi. Pada umumnya, saat ini, orang Jawa sudah sulit mengenal siapa nama buyutnya (generasi ketiganya), apalagi mengenal siapa nama gantung siwurnya! (generasi ke VII-nya).
Kerabat sedarah ke bawah (sampai 7 generasi) adalah “anak saya” (putra) – wayah (putu) – buyut – canggah – wareng – undheg-udheg – gantung siwur. Pembaca masih mengenal, siapakah gantung siwur Anda?

MENGAPA hanya sampai tujuh turunan? Budaya Jawa banyak mengenal simbol-simbol yang menggunakan angka 7 (tujuh). Terutama yang berkaitan dengan urusan religius-spiritual (Wawan Susetya).
Mitoni. Artinya selamatan bagi wanita yang hamil 7 bulan. Mitoni dari kata pitu atau tujuh.
Pitung Dinanan. Selamatan bagi kematian seseorang setelah masuk ke hari ketujuh. Pitung dari kata pitu. Dinanan dari kata dina (hari).
Tujuh hitungan hari: Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jumat, Setu, Minggu.
Tujuh susunan langit: berkaitan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, langit paling tinggi adalah Sidratul Muntaha, itulah langit yang ke-7. Di situ Rasullulah bertemu dengan Allah SWT.
Tujuh bidadari: ke 7 bidadari tersebut Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagar Mayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lengleng Mulat. Tujuh bidadari tersebut dihadiahkan kepada Arjuna karena telah berhasil mengalahkan Prabu Niwatakawaca.
Tujuh nafsu menurut Islam: ammarah, lawwamah, shufiyah, muthmainah, rodhiyah, mardhiyah, dan kamilah.
Tujuh gendhing talu: cucur bawuk, pare anom, ladrang srikaton, ketawang sukma ilang, ayak-ayak manyura, slepegan manyura, dan sampak manyura. Ke-7 gendhing tersebut selalu dibunyikan sebelum pagelaran wayang kulit dimulai.
Pertapaan Sapta Arga. Itulah pertapaan Begawan Wiyasa atau Resi Abiyasa, kakek, sesepuh, atau pepunden Pendawa. Sapta artinya tujuh, arga artinya gunung. Untuk menjadi manusia yang “insan kamil”, paripurna seperti Begawan Abiyasa, harus melalui 7 terminal pendakian. Mendaki ke atas ke hadirat Allah SWT (digambarkan naik gunung). Demikian perjuangannya menuju ke hadirat Tuhan, seorang sufi (pengamal tarekat) dituntut melewati maqam tujuh atau tujuh terminal. Dalam tasawuf dikenal juga 4 strata, yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat dan 3 keyakinan, yakni ilmu yakin, ainul yakin, dan haqqul yakin @
Semat, Drajat, lan Kramat

MANUSIA adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Namun martabatnya yang tinggi bisa ambruk menjadi nista jika terjerat oleh nafsu semat, drajat, dan kramat. Demikian antara lain ajaran Ki Ageng Surayamantaram, tokoh kejawen, bangsawan dari Ngayogyakarta yang hidupnya amat sederhana. Ketiga nafsu tersebut semat (harta-benda), drajat (kekuasaan), dan kramat (suci-hormat) sering menggoda manusia. Jika terjerat dengan ketiga nafsu tersebut manusia menjadi gila hormat dan serakah.
Banyaknya partai politik di Indonesia saat ini -- sangat mungkin disebabkan oleh -- banyak orang yang ingin berkuasa. Karena kuasa memang bisa menghasilkan banyak harta, tanpa banyak kerja. Mungkin juga karena, manusia memang lebih mencintai kehidupan dunia ketimbang kehidupan akhirat. Padahal Tuhan telah mengingatkan, … Dan sesungguhnya akhir (at) itu lebih baik bagimu ketimbang permulaan (hidup di dunia) (Q 93 : 4). Toh banyak manusia lebih tergiur oleh kehidupan dunia yang megah-mewah. Tuhan juga telah mengingatkan kepada umat manusia, selama hidup di dunia, hendaknya banyak berbuat baik, jangan banyak berbuat buruk. Sebab orang yang lebih banyak berbuat baik akan masuk surga, dan orang yang banyak berbuat jahat akan masuk neraka (Qs. 101 : 6 – 9).
Kekuasaan memang menggiurkan. Sebab dari kekuasaan dapat melahirkan harta-benda dan hormat. Biasanya kekuasaan membuat orang ketagihan. Sekali berkuasa, ingin terus berkuasa. Itulah nafsu serakah. Dalam dunia perwayangan nafsu serakah digambarkan oleh tokoh Raja Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka, dalam ceita Ramayana. Demi mempertahankan kekuasaannya dan mempertahankan perbuatannya yang salah, Raja Rahwana tak segan-segan berbuat curang dan bahkan berani berperang habis-habisan. Akhirnya Rahwana mati di tangan Ramawijaya, titisan Bathara Wisnu, dengan bantuan Hanoman.
Nafsu kramat membuat manusia semakin congkak, karena merasa dirinya sudah hebat, superman, dan tak mau diungguli manusia lain. Kemudian dia merasa dirinya bagaikan seorang raja, atau wali Tuhan di mayapada.

BAGAIMANA sikap kita supaya tidak terjerat oleh nafsu semat, drajat, dan kramat? Menurut Ki Ageng Suryamantaraman, pola hidup kita harus kita ubah. Yang semula hidup suka handarbeni (memiliki) harus diubah menjadi hidup senang makerti (sadar diri). Bagaimana caranya hidup makerti itu? Menurut Ki Ageng, dengan lampah, tapa, panarima, lan amal. Lampah atau laku artinya menjalankan suatu pekerjaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pencipta (Rukun Iksan). Tapa artinya mengurangi kebutuhan jasmani pada tingkat tertentu (mengurangi makan, minum, tidur, bercakap-cakap, hidup di tempat yang sepi, dsb) agar rohani kita terpusat untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Pelaksanaan tapa harus kita lakukan dengan panarima (pasrah, ikhlas, istiqomah) dengan diselingi amal, suatu pekerjaan sukarela, untuk kepentingan masyarakat lingkungannya (masjid, surau, dsb). Amal bisa diartikan sebagai ubudiyah dalam tasawuf Islam.
Upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, Allah SWT, secara intensif dan efektif termasuk Rukun Iksan. Dalam kajian tasawuf Islam, orang yang mengamalkan Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun Iksan sekaligus, disebut sebagai pengamal ajaran Islam Kaffah, atau seorang pengamal tasawuf (sufi). Tapa dalam Rukun Iksan dikenal sebagai suluk (bahasa Arab). Suluk adalah suatu proses ibadah saat manusia berupaya mendekatkan diri lepada Allah SWT. Orangnya disebut Sali’.
Tujuan makerti atau sadar diri adalah agar manusia tidak terjebak pada nafsu memiliki yang berlebihan. Sebab nafsu memiliki yang berlebihan akan melahirkan nafsu serakah. Nafsu serakah semakin lama semakin berkobar. Bahkan seluruh dunia – jika mungkin -- akan ditelannya. Kita lihat, ada negara super power yang sudah berperilaku seperti itu.
Ajaran budaya Jawa mengatakan, jangan takut kepada super power manapun, biarpun dia memiliki kekuasaan yang besar, kekuatan persenjataan yang canggih, maupun dana yang melimpah, dan digdaya (sakti). Sebab sura, dira, jayaningrat, lebur dening pangastuti. Artinya keberanian, kekuatan, kejayaan di dunia, akan ditaklukkan oleh puji dan sembah. Maka dalam situasi bangsa dan negara yang saat ini selalu diwarnai oleh konflik, kekerasan, kerusuhan, dsb, perisainya hanya satu. Yaitu hanya rajin beribadah secara intensif untuk menghaturkan puji dan sembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mohon ridho-Nya. Atau sering-seringlah mengingat (berzikir) kepada Allah SWT. Bagaimana caranya berzikir yang baik dan benar? Atau secara intensif dan efektif? Silakan kontak ke situs www.baitulamin.com.
Andhap Asor

Andhap asor artinya rendah hati, tetapi bukan rendah diri. Lawan rendah hati adalah tinggi hati, congkak, sombong dan sebagainya. Budaya Jawa mengajarkan agar orang selalu bersikap rendah hati. Sikap rendah hati tercermin dalam aksara Jawa, ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya. Abjad Jawa tersebut ditulis tidak di atas garis, tetapi ditulis di bawah garis.
Pada zaman Jaka Tingkir pun, seorang satria Jawa sudah dianjurkan untuk selalu bersikap andhap asor. Hal itu antara lain tercantum pada Sekar Macapat (Tembang) Mijil:

Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur kewasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur

Ajaran moral tersebut diberikan oleh Kebo Kenanga kepada Joko Tingkir (Babad Tanah Jawa; Balai Pustaka). Artinya kurang lebih, … jalan menuju bijak dan sakti, harus rendah hati, berani mengalah (bukan kalah) akhirnya pasti mulia, menunduklah jika dimarahi (orang tua), hindari segala hambatan, hindari cerita yang tak bernilai (gossip).

Perasaan orang Jawa terlihat pada sifat aji, ngajeni, hormat, kepada orang yang lebih tinggi usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Bahkan sifat hormat tersebut bisa meningkat ke sifat kagum untuk suatu hubungan orang tertentu.
Zaman dulu sifat andhap asor amat dianjurkan kepada kaum muda di kalangan kraton, baik kepada para pangeran (anak raja), sentana dalem (keturunan raja), dan para abdi dalem (punggawa, pegawai kraton). Ketika kerajaan Sukartahadingrat dipimpin oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Pakubuwana IV (1788 – 1820 M), beliau menulis sejumlah buku panduan untuk character building, pembinaan budi pekerti, atau pendidikan akhlak bagi masyarakat umum dan bagi kaum muda. Salah satu buku untuk pembinaan budi pekerti tersebut berjudul Wulangreh.
Wulangreh adalah buku kumpulan sekar atau tembang, khusus berisi ajaran hidup mulia. Dalam Wulangreh berisi tembang (macapat) Dandanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Duduk Wuluh, Durma, Wirangrong, dan Pocung. Kata Wulangreh sebagian orang mengartikan sebagai pelajaran (wulang) untuk memerintah (reh); untuk memerintah orang lain maupun memerintah (jiwa, batin) diri sendiri. Pembinaan akhlak lewat tembang diharapkan untuk menarik siapa saja yang mendengarnya.
Pada zaman dulu pembinaan akhlak atau budi pekerti di kalangan para pemimpin dan para calon pemimpin mendapat prioritas utama. Sebab raja berpendapat untuk membangun negeri dan rakyatnya agar tercapai suasana aman sejahtera, yang pertama dan utama adalah membangun akhlak para pemimpin, baru kemudian kepada seluruh warganya. Pembangunan sarana dan prasarana hidup yang baik dan besar biayanya, tak bakal berguna jika para pemimpin dan para kawulanya berakhlak rendah.



Tembang Kinanthi

Salah satu pembinaan akhlak bagi kaum muda antara lain terdapat pada buku Wulangreh, Tembang Kinanthi. Terjemahan bebas Tembang Kinanthi sbb:

Pelajarilah dan latihlah batinmu, agar mampu menangkap isyarat-isyarat Ilahi, jangan selalu makan dan tidur berlebihan, carilah kajayaan hidup, kuatkanlah tekad dan niatmu, kurangilah makan dan tidur (Bait pertama).

Biasakan hidup prihatin, dengan cara berpuasa dan sering berjaga (tidak tidur), dan jauhi hidup bersenang-senang, hiduplah yang wajar, orang yang hidup suka berlebih-lebihan (mewah, megah) akan mengurangi kewaspadaan batin.(Bait kedua).

Kepada para pemimpin Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Apabila sudah menjadi pemimpin, jangan sombong, jangan bergaul dengan orang jelek, orang yang jelek akhlaknya (orang jahat), bisa menyeretmu ke perbuatan jahat, sebab sifat buruk (orang jahat) akan menular ke pribadimu (Bait ketiga).

Walaupun orang berkedudukan rendah, jika berakhlak mulia, dan kaya ilmu luhur, ilmu yang memiliki teladan baik, itu pantas engkau dekati, agar budi pekertimu lebih kaya (Bait keempat).

Kepada kaum muda Kanjeng Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Pekerjaan baik itu, mudah jika sudah dilakukan, sulit jika belum dilaksanakan, dan malas untuk dilaksanakan, tetapi itu kerjakanlah, demi kemanfaatan dirimu sendiri (Bait ketujuh).

Bagi kaum muda, di zaman ini, andhap asor (rendah hati) dibuang, bersifat tinggi hati, suka omong kosong tanpa nilai, kementhus, lengus, kumaki ( Bait kedelapan).
Lu lu gua gua (dialek Betawi), bertabiat kasar suka menganiaya, itulah tanda orang berakhlak buruk, mereka jauhi pergaulan orang-orang berakhlak, tak mau mendengar nasehat orang tua, yang berisi contoh-contoh baik atau buruk (Bait kesembilan).


Kepustakaan Jawa zaman dulu yang berisi filsafat, religius-spiritual, dan pembinaan budi pekerti (akhlak mulia) banyak sekali. Di antaranya:

A. Kitab-kitab Jawa kuna golongan tua: Candrakirana, Ramayana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Utarakanda, dsb.
B. Kitan-kitab Jawa kuna yang bertembang kakawin: Arjunawiwaha, Krenayana, Sumanasantaka, Bhomakwaya, Bharatayuddha, Hariwangsa, Smaradahana, dsb
C. Kitab-kitab Jawa kuna tergolong baru: Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Nitisastra, Purusada-santa, Parthayadnya, dsb.
D. Kitab-kitab Bahasa Jawa Tengahan dalam bentuk proza: Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Pararaton, dsb.
E. Kitab-kitab syair bahasa Jawa Tengahan berbentuk kakawin: Dewaruci, Sudamala, Kidung Subrata, Panji Angreni, Sri Tanjung, dsb.
F. Kitab-kitab Zaman Islam: Suluk Sukarsa, Kodja-djadjahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Manikmaya, dsb.
G. Kitab-kitab zaman Surakarta awal: Mintaraga atau Arjuna Wiwaha (disadur Pakubuwana III), Serat Rama, Bharayuda, Panitisastra, Babad Giyanti, Wicara Keras dsb (disadur Jasadipura I dan Jasadipura II dan bentuk puisi), Wulangreh, Wulang Sunu (dikarang oleh Pakubuwana IV), Ardjunasasrabau (puisi), Sugriwa-Subali, Sembadra Larung, Srikandi Meguru Manah (disadur dan dibangun oleh Kiyai Sindusastra/juru tulis Pakubuwana IV), Bale Sigala-gala, Djagalabilawa, Semar Djantur (disadur/dibangun oleh Arya Kusumadilaga), Serat Canthini (karya Pakubawana V), Wedhatama (karya Mangkunegara IV), Kalatidha (karya R Ng Ranggawarsita).

Oleh sebab itu secara teori, orang Jawa seharusnya berbudi luhur, mengingat orang Jawa banyak memiliki banyak warisan ngelmu luhur dan pembinaan akhlak mulia dari para pendahulunya. Jika saat ini banyak orang Jawa yang tidak bersikap andhap asor, patutlah disebut wong Jawa sing wis ilang Jawane ***
Aja rumangsa bisa

Akhir tahun 2008 kiprah kaum politisi semakin marak. Itu wajar, karena mereka menghadapi kompetisi politik tahun depan, mulai sekarang mereka harus bekerja keras. Misalnya, ada partai besar yang sedang getol merangkul para artis atau para selebriti. Sedang Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), mengumumkan bahwa partainya didukung oleh kaum profesional dan akademisi. Bahkan PPRN bersaksi dan berjanji, akan membersihkan wajah DPR-RI dari berbagai tindak tak terpuji. PPRN bertekad akan menjaga kehormatan DPR-RI demi mengemban amanat rakyat yang telah lama mendambakan masyarakat yang adil makmur, aman damai, kuat sentosa.
Tekad PPRN tersebut disampaikan oleh Ketua Umum-nya, Amelia A. Yani, di sela-sela kesibukannya mendaftarkan para calon legislatif untuk duduk di DPR-RI, di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat, Agustus lalu (19/08/08). Jumlah caleg dari PPRN sebanyak 342 orang, kata putri Pahlawan Revolusi Ahmad Yani itu. Dari jumlah itu, 103 orang terdiri dari kaum hawa. Itu maknanya, jumlah caleg PPRN telah memenuhi 30 persen harus dari kaum hawa. Itulah kuota yang ditetapkan oleh KPU. Dari 342 caleg tersebut banyak berasal dari kalangan profesional, kaum cendekiawan, atau kalangan akademisi. Di antaranya ada yang bergelar doktor dan profesor.
Jadi pemilihan caleg di PPRN bukan sekedar memenuhi kuota (30 persen harus dari kalangan perempuan), tetapi para caleg mereka juga insan unggul dan profesional. Bagaimana nanti kerja mereka, … kita lihat saja nanti!

Caleg dari PKS
Sementara itu dari kubu PKS telah tersiar “kabar burung”, ada empat tokoh politik dan cendekiawan yang akan diajukan sebagai calon wakil presiden (cawapres). Mereka itu Sri Sultan HB X, Dahlan Iskan, Irman Gusman, dan Sandiaga S Uno. Benarkah berita itu? Namanya saja “kabar burung”! Yang jelas, nama-nama itu sempat beredar di media massa.
Bagi man in the street, nama yang sudah beken adalah Sri Sultan HB X, yang kini menjabat Gubernur D.I. Yogyakarta. Nama ini dipasang – tampaknya - untuk menjaring wong Jawa, khususnya yang tinggal di Yogya, Solo, dan Jawa Tengah. Tetapi untuk orang Indonesia, suku lain, dari wilayah lain, misalnya di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Bali, NTT, NTB, Papua, nama itu belum akrab amat.
Memang, untuk gol menjadi wapres, soal akrab atau tidak akrab bukan jaminan. Yang sering terjadi, jaminan untuk bisa gol menjadi wapres (atau pimpinan nasional yang lain) adalah, kepandaian melobi ke beberapa kekuatan sospol dan banpol (bandar politik) …

Yang Baru dan Muda
Pemilihan presiden pada tahun 2009 nanti akan menarik sekali, soalnya tidak hanya kaum tua yang akan maju, justru dari kaum muda yang lebih banyak tergiur untuk menjadi pucuk pimpinan negeri - yang luas dan kaya raya - tetapi rakyatnya banyak yang miskin ini..
Dari media massa di Jakarta, para tokoh muda yang mencalonkan diri menjadi “RI – I” tahun 2009 antara lain muncul nama Iwan Cahyono, pengusaha losmen, Berhar Fathia, aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, pekerja teater, Fadjroel Rachman, mantan aktivis mahasiswa, Yuddy Chrisnandi, fungsionaris Golkar, Rizal Mallarangeng, pengamat politik, Soetrisno Bachir, Ketua Umum PAN, Prabowo Subiakto, mantan Pangkostrad. Dari golongan “setengah tua” adalah Kivlan Zein, mantan Kepala Staf Kostrad, Rizal Ramli, mantan menko ekonomi/menteri keuangan. Tentu, masih ada lagi, tetapi itu sudah cukup untuk bukti. Jika semua dimunculkan, rakyat akan bingung. Jangan-jangan karena bingung, rakyat malah stres. Kalau rakyat stres, jangan-jangan jumlah golput bisa semakin buanyak!
Dalam alam demokrasi, memang semua orang boleh saja mencalokan diri menjadi presiden, menjadi wakil presiden, atau menjadi wakil rakyat di DPR. Itu sah-sah saja. Itu jabatan mulia, jabatan prestisius! Namun harap maklum, untuk menjadi pucuk pimpinan bangsa yang jumlahnya 210 juta orang, tidak gampang! Apalagi tersebar di ribuan pulau, yang beraneka budayanya, yang bermacam-ragam agama, dan tradisinya. Wilayah Indonesia juga amat luas, panjangnya dari barat ke timur, sama panjangnya dengan benua Eropa. Negeri yang buminya kaya raya, banyak sumber daya alam.
Jangan lupa sejak abab-16 sampai detik ini, Indonesia diincar bangsa asing untuk dapat dikuasai karena kekayaan buminya dan karena banyak penduduknya. Bagi kaum dagang, Indonesia sebagai lahan yang ideal buat mencari untung. Selain kaya bahan baku industri - apa saja ada - sekaligus sebagai pasar, tempat menjual produk-produknya, dan negeri ini juga kaya tenaga kerja murah! Itu jangan dilupakan. Apa artinya?
Artinya, untuk menjadi pemimpin di Indonesia banyak syaratnya. Bukan hanya harus profesional di bidangnya, tetapi harus juga menguasai sejarah negeri dan bangsa ini. Harus paham benar filosofi, jatidiri, karakter, kekuatan, kelemahan bangsa yang amat majemuk ini. Calon pemimpin negeri ini harus mampu mengakses ke semua komponen masyarakat Indonesia, serta kenal dekat dengan para tokoh daerah di Indonesia. Dia juga harus dekat dengan semua pimpinan organisasi profesi, pimpinan ormas, orpol, di Indonesia dan dunia. Dia harus dekat pula dengan pimpinan dan para tokoh TNI/Polri. Harus punya akses ke pimpinan negara-negara adikuasa dan dunia. Punya akses ke badan-badan hukum, HAM, intelijen, dsb. Harus mampu memimpin sekitar 3 juta orang PNS, dari tingkat desa sampai tingkat Pusat. Juga harus kenal sejumlah menteri/mantan menteri, anggota DPR, sejumlah tokoh hukum, para pedagang besar/konglomerat, dsb. Pemimpin negeri ini harus selalu gandrung persatuan bangsa!
Kesimpulannya, menjadi pucuk pimpinan nasional di Indonesia, bukan perkara mudah. Sebab selain harus banyak kawan, dia harus pula berani menghadapi banyak lawan. Baik lawan yang ada di dalam maupun lawan yang datang dari luar negeri. Apalagi lawan dari luar negeri. Mereka memiliki pasukan “siluman” yang amat banyak, kuat, dan banyak uang. Mereka pandai menyusup di mana-mana tanpa kita ketahui. Menyusup di bawah selimut kita pun, kita tidak tahu!
Orang bijak pernah memberi nasehat: Aja rumangsa bisa, nanging bisa-a rumangsa. Artinya, janganlah Anda merasa bisa (mampu), tetapi hendaknya Anda bisa merasa. Bisa merasa artinya, bisa mengukur dirinya sendiri. Mampukah aku? Nasehat orang Jawa jadul (jaman dulu) tersebut terutama buat mereka yang merasa dirinya sudah “jago”, padahal dia bodo! Indonesia kini banyak orang pinter, tetapi keblinger.

Bukan cuma Politisi
Yang kita perlukan saat ini bukan cuman politisi, tetapi sekaligus harus negarawan. Negara harus diutamakan untuk rakyat. Rakyat harus cukup sandang, pangan, dan papan. Kepentingan publik harus di atas segalanya! (Ki Darmo, di pertapaan lembah G Lawu).
PARTAI POLITIK KITA

Sungguh memalukan dunia, karena terbukti sejumlah pejabat tinggi negara, baik di kalangan eksekutif, legislatif, maupun kalangan judikatif Indonesia, banyak terlibat KKN. Terbongkarnya berbagai kasus KKN di Indonesia, khususnya yang melibatkan banyak pejabat tinggi negara, semakin menjatuhkan martabat dan derajat bangsa dan negara kita di kancah dunia.
Kasus KKN yang melibatkan para pejabat tinggi Indonesia, bukan saja terjadi di wilayah Indonesia, tetapi juga terdapat di wilayah luar Indonesia. Kasus diseretnya mantan Dubes RI untuk Malaysia oleh polisi ke rumah tahanan merupakan salah satu bukti. Bukan tidak mungkin, para pejabat negara Indonesia yang lain, yang di tempatkan di negara lain, juga melakukan tindak KKN. Semoga praduga tersebut tidak benar!
Setiap tindak KKN yang dilakukan oleh anggota DPR-RI, seorang diri atau berkelompok, jelas sangat menentukan wajah pembangunan nasional kita. Sebagai contoh, kasus suap oleh anggota dewan Al Amin Nasution dkk, jelas melanggar peraturan perundangan-undangan kita, khususnya yang mengatur tata-ruang di daerah. Dalam hal ini sejumlah wakil rakyat tersebut membuat kesalahan besar. Pertama, telah mengingkari tugas dan kewajiban mereka sebagai pengontrol pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang mereka buat sendiri. Kedua, ke depan, mereka akan merusak pembangunan daerah.
Demikian pula kasus pengucuran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR-RI dan kasus pengakuan anggota DPR-RI dari PDIP, Agus Condro. Kedua kasus itu juga mempunyai makna penting. Pertama, kedua kasus KKN tersebut, sejumlah anggota dewan justru mengingkari tugas dan kewajiban mereka sebagai pengontrol pembangunan nasional kita. Ibarat: pagar makan tanaman. Kedua, perbuatan nista para wakil rakyat tersebut amat menjatuhkan nama baik bangsa dan negara. Seperti kita tahu, BI adalah “kasir negara” yang amat penting. BI merupakan bank central Indonesia. BI satu-satunya bank yang dipercaya oleh bangsa dan negara untuk mengatur pendanaan pembangunan nasional. BI juga adalah satu-satunya bank resmi RI yang dipercaya untuk menampung semua dana ekspor-impor dan pinjaman (atau bantuan) dari pihak luar. Dengan terbongkarnya sejumlah pejabat tinggi BI bermain suap dengan para wakil rakyat, yang bertujuan hanya untuk keuntungan pribadi mereka, sungguh suatu kejahatan dan pengkhianatan yang harus diganjar dengan sanksi seberat-beratnya.
Selain itu kini saatnya rakyat minta pertanggunganjawab partai politik (parpol) di negeri ini. Semua parpol di Indonesia juga harus ikut menghentikan praktak-praktek jahat para anggotanya, khususnya yang duduk di lembaga-lembaga tinggi negara. Misalnya, semua parpol harus mengeluarkan persyaratan kepada semua anggotanya. Persyaratan yang bermakna sebuah perjanjian atau “kontrak politik”, yang antara lain mengharuskan semua anggota parpol membuat surat pernyataan. Inti surat: jika selama atau sesudah anggota parpol ybs terbukti melakukan KKN, maka ybs harus bersedia mundur, diminta atau tidak, oleh pengurus parpol. Dengan cara demikian, parpol sekaligus menunjukkan niat baiknya kepada publik, bahwa kasus KKN yang dilakukan oleh anggotanya, tidak terkait dengan kepentingan parpol. Kebijakan parpol yang demikian, pasti akan mengembalikan kepercayaan publik kepada parpol. Kebijakan semacam itu, pasti akan mengembalikan fungsi dan martabat parpol secara baik dan benar, karena mampu menjadi penampung dan penyalur aspirasi rakyat. Tugas parpol memang harus mulia dan amanah! **

kata-kata mutiara
Bekerja merupakan amal ibadah. Dalam bekerja ada kalah dan ada menang. Kalah, jika engkau tunduk kepada rayuan syetan. Menang, jika engkau berhasil melawan rayuan syetan. Hati-hatilah terhadap tipu daya nafsumu dan syetanmu, agar engkau tidak terjerumus mengais rejeki haram. (Syekh Abdul Qadir Jailani).