Sabtu, 07 Maret 2009

Andhap Asor

Andhap asor artinya rendah hati, tetapi bukan rendah diri. Lawan rendah hati adalah tinggi hati, congkak, sombong dan sebagainya. Budaya Jawa mengajarkan agar orang selalu bersikap rendah hati. Sikap rendah hati tercermin dalam aksara Jawa, ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya. Abjad Jawa tersebut ditulis tidak di atas garis, tetapi ditulis di bawah garis.
Pada zaman Jaka Tingkir pun, seorang satria Jawa sudah dianjurkan untuk selalu bersikap andhap asor. Hal itu antara lain tercantum pada Sekar Macapat (Tembang) Mijil:

Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor,
Wani ngalah luhur kewasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur

Ajaran moral tersebut diberikan oleh Kebo Kenanga kepada Joko Tingkir (Babad Tanah Jawa; Balai Pustaka). Artinya kurang lebih, … jalan menuju bijak dan sakti, harus rendah hati, berani mengalah (bukan kalah) akhirnya pasti mulia, menunduklah jika dimarahi (orang tua), hindari segala hambatan, hindari cerita yang tak bernilai (gossip).

Perasaan orang Jawa terlihat pada sifat aji, ngajeni, hormat, kepada orang yang lebih tinggi usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Bahkan sifat hormat tersebut bisa meningkat ke sifat kagum untuk suatu hubungan orang tertentu.
Zaman dulu sifat andhap asor amat dianjurkan kepada kaum muda di kalangan kraton, baik kepada para pangeran (anak raja), sentana dalem (keturunan raja), dan para abdi dalem (punggawa, pegawai kraton). Ketika kerajaan Sukartahadingrat dipimpin oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Pakubuwana IV (1788 – 1820 M), beliau menulis sejumlah buku panduan untuk character building, pembinaan budi pekerti, atau pendidikan akhlak bagi masyarakat umum dan bagi kaum muda. Salah satu buku untuk pembinaan budi pekerti tersebut berjudul Wulangreh.
Wulangreh adalah buku kumpulan sekar atau tembang, khusus berisi ajaran hidup mulia. Dalam Wulangreh berisi tembang (macapat) Dandanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Duduk Wuluh, Durma, Wirangrong, dan Pocung. Kata Wulangreh sebagian orang mengartikan sebagai pelajaran (wulang) untuk memerintah (reh); untuk memerintah orang lain maupun memerintah (jiwa, batin) diri sendiri. Pembinaan akhlak lewat tembang diharapkan untuk menarik siapa saja yang mendengarnya.
Pada zaman dulu pembinaan akhlak atau budi pekerti di kalangan para pemimpin dan para calon pemimpin mendapat prioritas utama. Sebab raja berpendapat untuk membangun negeri dan rakyatnya agar tercapai suasana aman sejahtera, yang pertama dan utama adalah membangun akhlak para pemimpin, baru kemudian kepada seluruh warganya. Pembangunan sarana dan prasarana hidup yang baik dan besar biayanya, tak bakal berguna jika para pemimpin dan para kawulanya berakhlak rendah.



Tembang Kinanthi

Salah satu pembinaan akhlak bagi kaum muda antara lain terdapat pada buku Wulangreh, Tembang Kinanthi. Terjemahan bebas Tembang Kinanthi sbb:

Pelajarilah dan latihlah batinmu, agar mampu menangkap isyarat-isyarat Ilahi, jangan selalu makan dan tidur berlebihan, carilah kajayaan hidup, kuatkanlah tekad dan niatmu, kurangilah makan dan tidur (Bait pertama).

Biasakan hidup prihatin, dengan cara berpuasa dan sering berjaga (tidak tidur), dan jauhi hidup bersenang-senang, hiduplah yang wajar, orang yang hidup suka berlebih-lebihan (mewah, megah) akan mengurangi kewaspadaan batin.(Bait kedua).

Kepada para pemimpin Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Apabila sudah menjadi pemimpin, jangan sombong, jangan bergaul dengan orang jelek, orang yang jelek akhlaknya (orang jahat), bisa menyeretmu ke perbuatan jahat, sebab sifat buruk (orang jahat) akan menular ke pribadimu (Bait ketiga).

Walaupun orang berkedudukan rendah, jika berakhlak mulia, dan kaya ilmu luhur, ilmu yang memiliki teladan baik, itu pantas engkau dekati, agar budi pekertimu lebih kaya (Bait keempat).

Kepada kaum muda Kanjeng Sunan Pakubuwana IV mengajarkan:
Pekerjaan baik itu, mudah jika sudah dilakukan, sulit jika belum dilaksanakan, dan malas untuk dilaksanakan, tetapi itu kerjakanlah, demi kemanfaatan dirimu sendiri (Bait ketujuh).

Bagi kaum muda, di zaman ini, andhap asor (rendah hati) dibuang, bersifat tinggi hati, suka omong kosong tanpa nilai, kementhus, lengus, kumaki ( Bait kedelapan).
Lu lu gua gua (dialek Betawi), bertabiat kasar suka menganiaya, itulah tanda orang berakhlak buruk, mereka jauhi pergaulan orang-orang berakhlak, tak mau mendengar nasehat orang tua, yang berisi contoh-contoh baik atau buruk (Bait kesembilan).


Kepustakaan Jawa zaman dulu yang berisi filsafat, religius-spiritual, dan pembinaan budi pekerti (akhlak mulia) banyak sekali. Di antaranya:

A. Kitab-kitab Jawa kuna golongan tua: Candrakirana, Ramayana, Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Utarakanda, dsb.
B. Kitan-kitab Jawa kuna yang bertembang kakawin: Arjunawiwaha, Krenayana, Sumanasantaka, Bhomakwaya, Bharatayuddha, Hariwangsa, Smaradahana, dsb
C. Kitab-kitab Jawa kuna tergolong baru: Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Nitisastra, Purusada-santa, Parthayadnya, dsb.
D. Kitab-kitab Bahasa Jawa Tengahan dalam bentuk proza: Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Pararaton, dsb.
E. Kitab-kitab syair bahasa Jawa Tengahan berbentuk kakawin: Dewaruci, Sudamala, Kidung Subrata, Panji Angreni, Sri Tanjung, dsb.
F. Kitab-kitab Zaman Islam: Suluk Sukarsa, Kodja-djadjahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Manikmaya, dsb.
G. Kitab-kitab zaman Surakarta awal: Mintaraga atau Arjuna Wiwaha (disadur Pakubuwana III), Serat Rama, Bharayuda, Panitisastra, Babad Giyanti, Wicara Keras dsb (disadur Jasadipura I dan Jasadipura II dan bentuk puisi), Wulangreh, Wulang Sunu (dikarang oleh Pakubuwana IV), Ardjunasasrabau (puisi), Sugriwa-Subali, Sembadra Larung, Srikandi Meguru Manah (disadur dan dibangun oleh Kiyai Sindusastra/juru tulis Pakubuwana IV), Bale Sigala-gala, Djagalabilawa, Semar Djantur (disadur/dibangun oleh Arya Kusumadilaga), Serat Canthini (karya Pakubawana V), Wedhatama (karya Mangkunegara IV), Kalatidha (karya R Ng Ranggawarsita).

Oleh sebab itu secara teori, orang Jawa seharusnya berbudi luhur, mengingat orang Jawa banyak memiliki banyak warisan ngelmu luhur dan pembinaan akhlak mulia dari para pendahulunya. Jika saat ini banyak orang Jawa yang tidak bersikap andhap asor, patutlah disebut wong Jawa sing wis ilang Jawane ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar